PROSES PEMBUATAN TENUN IKAT DAN PAHIKUNG/SONGKET

Oleh. Yudi Umbu T. T. Rawambaku, SE

I. Production or Procurement of Yarn / Pembuatan Atau Pengadaan Benang

In ancient times, cotton was grown and cared for by each family that made woven woven fabrics and taken from cotton plants that grow freely in nature. Those who plant it are usually planted in January and then harvested in June/July when the cotton is open and really ready to be harvested. The process of harvesting the cotton itself is carried out from morning to noon. The process of spinning cotton into thread is the initial process of the whole process of making woven to get white thread, but nowadays it is very rare to use self-spun yarn instead of using thread that is sold in stores.

Pada zaman dahulu kapas ditanam dan dipelihara oleh masing – masing keluarga yang membuat tenun ikat maupun diambil dari tanaman kapas yang tumbuh bebas di alam. Bagi yang menanam biasanya ditanam pada bulan Januari kemudian dipanen pada bulan Juni/ Juli saat kapas sudah terbuka dan benar – benar siap dipanen. Proses memanen kapas itu sendiri dilakukan dari pagi sampai siang hari. Proses memintal kapas menjadi benang adalah proses awal dari keseluruhan proses membuat tenun ikat untuk mendapatkan benang berwarna putih, tetapi dewasa ini sudah sangat jarang yang menggunakan benang yang dipintal sendiri melainkan sudah menggunakan benang yang dijual di toko.

In ancient times, woven yarn was processed from cotton. Cotton fruit that has been dried, picked and dried in the sun. The boll skin is removed and the seeds are removed. There are two ways to remove cotton seeds, namely by hand or using a tool. The steps in the yarn spinning process are as follows:

Pada zaman dahulu, benang tenun ikat diolah dari kapas. Buah kapas yang telah kering, dipetik dan dijemur. Kulit buah kapas dibuang dan bijinya dikeluarkan. Untuk mengeluarkan biji kapas ditempuh dua cara yaitu dengan tangan atau dengan alat. Adapun langkah – langkah dalam proses pemintalan benang adalah sebagai berikut :

  1. If the number of cotton seeds removed is small, the work is done by hand only. This process is called Lamihi or eviscerating / separating the seeds from the cotton.
  1. Jika kapas yang dikeluarkan bijinya jumlahnya sedikit, pekerjaan dilakukan dengan tangan saja. Proses ini disebut Lamihi atau mengeluarkan isi / memisahkan biji dari kapas.

2. If there is a large amount of cotton, the process of removing the seeds uses a tool called a Pangari or sequencer and if there is a large amount of cotton, the process of removing the seeds uses a tool called a Nggihu or pinwheel.

2. Jika jumlah kapas banyak, proses pengeluaran bijinya menggunakan alat yang disebut Pangari atau pengurut dan jika jumlah kapasnya banyak sekali maka proses mengeluarkan bijinya menggunakan alat yang disebut Nggihu atau kincir.

Pangari or sequencer consists of a piece of bamboo and a plank. The seeded cotton is placed on the board, then the bamboo is rolled over the cotton until the seeds come out.

Pangari atau pengurut terdiri atas sepotong bambu dan sebilah papan. Kapas berbiji diletakkan diatas papan, kemudian bambu digulingkan diatas kapas hingga bijinya keluar.

Nnggihu or pinwheel consists of several round and smooth pieces of wood placed on two wooden poles. On the edge is placed a piece of wood to rotate. When rotated, both round and smooth wood rotate counterclockwise to roll and separate the cottonseed from the cotton fiber. The cotton fibers come out backwards and are picked up by someone sitting opposite the player/grinder.

Nggihu atau kincir terdiri atas beberapa potong kayu bulat dan licin yang diletakkan pada dua tiang kayu. Pada bagian pinggir diletakkan sepotong kayu untuk memutar. Ketika diputar, kedua kayu bulat dan licin berputar berlawanan untuk menggulung dan memisahkan biji kapas dengan serat kapas. Serat kapas keluar kebelakang dan diambil oleh seorang yang duduk berhadapan dengan si pemutar/penggiling.

3. The cotton fibers obtained through the Lamihi and Pangari and Nggihu processes are then dried in the sun and then beaten with a tool made of rattan called a Palu Kamba or beater.

3. Serat kapas yang diperoleh melalui proses Lamihi maupun Pangari dan Nggihu lalu dijemur dan kemudian dipukul – pukul dengan alat yang terbuat dari rotan yang disebut Palu Kamba atau pemukul.

4. After drying again, the cotton fiber is decomposed by bowing using a tool called Pandi or busar. Pandi is made from a piece of bamboo which is curved like a bow and the two ends are connected by a rope. The bowed cotton is placed in a place called Kaliku Pandi or basket busar.

4. Setelah dijemur kembali, serat kapas tersebut diurai dengan cara dibusur menggunakan alat yang disebut Pandi atau busar. Pandi dibuat dari sebilah bambu yang dilengkungkan menyerupai busur dan kedua ujungnya dihubungkan dengan tali. Kapas yang dibusur diletakkan didalam sebuah tempat yang disebut Kaliku Pandi atau bakul busar.

5. The cotton fiber that has been bowed is rolled up with a piece of log to form a long round cotton roll (Kanuhu) resembling a cocoon. The kanuhu thus obtained is spun into yarn.

5. Serat kapas yang telah dibusur, digulung dengan sepotong kayu bulat sehingga membentuk gulungan kapas (Kanuhu) yang bulat panjang menyerupai kepompong. Kanuhu yang diperoleh dipintal menjadi benang.

6. To obtain yarn, Kanuhu is processed in two ways. The first way is by using a tool called Kindi. Kindi is made of little finger-sized logs. The base of Kindi is inserted into a spool of thread. The first spun yarn is placed on the bobbin. Kindi is played on a plate (Kawinga). While Kindi is rotated, Kanuhu is stretched until a fine thread is obtained as desired.

6. Untuk memperoleh benang, Kanuhu diproses dengan dua cara. Cara pertama dengan mengunakan alat yang disebut Kindi. Kindi dibuat dari teras kayu bulat sebesar jari kelingking. Pangkal Kindi dimasukkan kedalam sebuah gelondong benang. Pintalan benang pertama diletakkan pada gelondong. Kindi diputar diatas sebuah piring (Kawinga). Sementara Kindi diputar, Kanuhu direntangkan sampai diperoleh benang yang halus sesuai yang dikehendaki.

7. The second way is to use a yarn spinning tool called Ndataru or jentera. This tool is made of wood, using a wheel connected by a rope to the child of Ndataru. When the wheel is rotated, Kanuhu is stretched until the yarn is obtained according to what is needed. Spinning yarn in this way is faster than using Kindi.

7. Cara yang kedua adalah dengan menggunakan alat memintal benang yang disebut Ndataru atau jentera. Alat ini dibuat dari kayu, menggunakan roda yang dihubungkan dengan tali pada anak Ndataru. Saat roda diputar, Kanuhu direntangkan hingga diperoleh benang sesuai dengan yang dibutuhkan. Pemintalan benang dengan cara ini lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan Kindi.

8. The resulting thread is wrapped crosswise on a tool made of wood that resembles the letter I which is called a Kapala or Palang.

8. Benang yang dihasilkan dililitkan secara menyilang pada alat yang dibuat dari kayu yang menyerupai huruf I yang disebut Kapala atau Palang.

9. After starching, it is dried in the sun and then spools of thread (Kabukulu) are made in the shape of a ball or oval using a tool called a pepangu or pengumpar.

9. Setelah dikanji, dijemur kemudian dibuat gulungan benang (Kabukulu) berbentuk bola atau oval menggunakan alat yang disebut Pepangu atau pengumpar.

II. Setting up the warp (Hemba) / Menyiapkan lungsin (Hemba)

The steps in the process of preparing the warp/hemba are as follows:

Langkah – langkah dalam proses menyiapkan lungsin/ hemba adalah sebagai berikut :

  1. Pameningu; Ball-shaped threads are unraveled on a tool called a wanggi pameningu with length and width according to the size of the fabric you want to make and this process is usually done by 2 people. The strands of thread that have been unraveled or stretched to the size of the cloth on the pameningu fragrance are called hemba. Wanggi pameningu is a tool made of bamboo or wood and generally measures approximately 2 meters in length and approximately 1 meter in width.

1. Pameningu; Benang yang berbentuk bola diurai pada alat yang disebut wanggi pameningu atau pembidangan dengan ukuran panjang dan lebar sesuai ukuran kain yang ingin dibuat dan proses ini biasanya dilakukan oleh 2 orang. Untaian benang yang telah diurai atau dibentangkan seukuran kain pada wanggi pameningu disebut hemba. Wanggi pameningu adalah alat yang dibuat dari bambu atau kayu dan pada umumnya berukuran panjang kurang lebih 2 meter dan lebar kurang lebih 1 meter.

2. After finishing the threads are stretched to form a hemba, the next process is the karandi rumata process, which is collecting 8-9 strands of thread which are tied using mattress or kalita threads (gewang shoot leaves which have been removed, leaving the skin thin and slippery).

2. Setelah selesai benang dibentangkan membentuk hemba maka proses selanjutnya adalah proses karandi rumata yaitu mengumpulkan 8 – 9 helai benang yang diikat menggunakan benang kasur maupun kalita ( daun pucuk gewang yang telah dikeluarkan isinya, sehingga tinggal kulit tipis dan licin ).

3. After that the karandi were collected using a rope made of palm leaves or a kind of plant bark in ancient times, or raffia rope (now), each 1 gathering consists of 20 karandi and for 1 liran it takes around 14 rikandi gatherings. So it is estimated that 1 lyran of woven cloth requires around 2,520 strands of thread, so for 1 sheet of woven cloth consisting of 2 lyrans requires around 5,040 strands of thread. In this process, we really need accuracy from the weaver because in unraveling the threads on the pamening fragrance, there is a calculation that cannot be mistaken, which is adjusted to the size and amount of cloth you want to make. So even though there are craftsmen who do not take formal education, they are very careful in calculating to make woven woven fabrics.

3. Setelah itu karandi dikumpulkan menggunakan tali dari daun lontar atau sejenis kulit tumbuhan pada jaman dahulu, atau tali rafia (sekarang), tiap 1 kumpul terdiri dari 20 karandi dan untuk 1 liran membutuhkan sekitar 14 kumpul karandi. Maka diperkirakan 1 liran kain tenun ikat membutuhkan sekitar 2.520 helai benang, sehingga untuk 1 lembar kain tenun ikat yang terdiri dari 2 liran membutuhkan sekitar 5.040 helai benang. Dalam proses ini sangat dibutuhkan ketelitian dari penenun karena dalam mengurai benang pada wanggi pamening terdapat hitungan yang tidak boleh keliru yang disesuaikan dengan ukuran dan jumlah kain yang ingin dibuat. Sehingga walaupun para pengrajin ada yang tidak menempuh pendidikan formal tetapi dalam menghitung untuk membuat tenun ikat mereka sangat cermat.

4. After that, the Pandapil process was carried out, namely stacking and uniting several streams of hemba. This step is divided into two, namely: Utu (combining 2 or more lirans, can be up to 10 lirans) and Upu (Inserting karuma/guidelines between each karandi combination of several lirans).

4. Setelah itu dilakukan proses Pandapil yaitu menumpuk dan menyatukan beberapa liran hemba. Langkah ini dibagi menjadi dua, yaitu : Utu ( menggabungkan 2 liran atau lebih, bisa hingga 10 liran ) dan Upu ( Menyisipkan karuma/ tali panduan diantara tiap gabungan karandi dari beberapa liran ).

5. The next step is kawari. That is, the strands of thread are tidied up and unraveled.

5. Langkah selanjutnya adalah kawari. Yaitu Untaian benang dirapikan susunannya dan diurai.

6. Patanggi; It means to tighten, that is to make sure that the thread that is stretched is taut in the fragrance, before the motif is drawn.

6. Patanggi; Artinya mengencangkan, yaitu memastikan bahwa benang yang direntangkan sudah kencang pada wanggi, sebelum digambar motif.

7. Karandi; The last step in the process of preparing the warp/shemba is to draw the fabric design you want to create. Columns of pictures are made, the hemba is divided into several parts by making a karandi tie on a piece of bamboo. These columns will later become spaces for drawing motifs for those who use the drawing process and also spaces for those who directly tie motifs without the drawing process. The karadi tie functions so that the thread does not shift while or after the motif is drawn or when it is tied. Because the hemba being dyed consists of several lyrans, for one time drawing and tying a motif will produce several fabrics with the same motif.

7. Karandi; Langkah terakhir dalam proses menyiapkan lungsin/ hemba untuk menggambar desain kain yang ingin diwujudkan. Dibuatlah kolom – kolom gambar, hemba dibagi kedalam beberapa bagian dengan cara membuat ikat karandi pada sebilah bambu. Kolom – kolom ini nantinya menjadi ruang untuk menggambar motif bagi yang menggunakan proses menggambar dan juga ruang bagi yang langsung mengikat motif tanpa proses menggambar. Ikat karandi berfungsi agar benang tidak bergeser saat sedang atau sesudah digambar motif ataupun saat diikat. Karena hemba yang dikarandi terdiri dari beberapa liran, untuk satu kali gambar dan mengikat motif akan menghasilkan beberapa kain dengan motif yang sama.

III. Making Patterns / Motives – Pembuatan Corak/ Motif

After the warp threads (hemba) are arranged, they are then tied to make the desired pattern. The warp threads are tied using Kalita, which is a gewang shoot leaf whose contents have been removed so that only a thin, slippery and smooth skin remains. The advantage of the thread tied with Kalita is that it cannot be penetrated by liquids. But the drawback causes thinning of the skin of the thumb and forefinger of the right hand which must be moistened with water and in constant contact with Kalita. Today, the warp threads are tied with raffia rope which is easily available in stores, but the drawback is that the warp threads which have been dyed with dye do not dry easily and the threads are brittle and break easily.

Setelah benang lungsin ( hemba ) diatur, kemudian diikat untuk membuat corak yang dikehendaki. Pengikatan benang lungsin menggunakan Kalita yaitu daun pucuk gewang yang telah dikeluarkan isinya sehingga tinggal kulit tipis yang licin dan halus. Benang yang diikat dengan Kalita kelebihannya tidak dapat ditembusi cairan. Namun kekurangannya menyebabkan menipisnya kulit ibu jari dan telunjuk tangan kanan yang harus dibasahi dengan air dan terus bersentuhan dengan Kalita. Dewasa ini, benang lungsin diikat dengan tali rafia yang mudah diperoleh di toko, tetapi kekurangannya benang lungsin yang telah dicelup zat pewarna tidak mudah kering dan benang rapuh serta mudah putus.

The process of making woven woven cloth which was originally a women’s monopoly and the pouring of patterns based on the craftsman’s imagination, today is also done by men and the desired pattern is drawn first with a colored pencil sketch.

Pengerjaan pembuatan tenun ikat yang semula merupakan monopoli wanita dan penuangan corak berdasarkan imajinasi pengrajin, dewasa ini dikerjakan pula oleh laki – laki dan corak yang dikehendaki digambar terlebih dahulu dengan sketsa pensil berwarna.

In general, the steps for making patterns/motifs are as follows:

Secara umum langkah – langkah pembuatan corak/ motif adalah sebagai berikut :

1. Drawing; Can only be done by those who are experts at drawing motifs on strands of thread (hemba). The equipment needed is a red – blue pencil, a ruler and a small container filled with water. Image motifs can be the result of the artist’s imagination or based on a picture from the customer. But there are also craftsmen who don’t do the drawing process but directly tie the kalita to the hemba to form the motif. This is done by craftsmen who are already experts, so the patterns that are produced are neat and beautiful.

1. Menggambar; Hanya bisa dilakukan oleh mereka yang ahli menggambar motif diatas untaian benang ( hemba ). Perlengkapan yang diperlukan adalah pensil merah – biru, mistar dan wadah kecil berisi air. Motif gambar bisa hasil imajinasi seniman atau berdasarkan gambar dari pemesan. Tetapi adapula pengrajin yang tidak melakukan proses menggambar tetapi langsung mengikatkan kalita pada hemba untuk membentuk motif. Hal ini dikerjakan oleh pengrajin yang memang sudah ahli, sehingga corak yang dihasilkan tetap rapih dan bagus.

2. The next step is to tie the hemba for the motif which will later be white, some call this process the hondung, some call it paingu. The goal is that when dyed blue, the motif covered by the rope is not exposed to blue dye. To tie the hemba, you can use kalita (rope from gewang leaves) or raffia rope. Kalita must be tied tightly so that other colors do not seep into the white motif. In the process of coloring Sumba cloth, it always begins with giving blue, except for fabrics that do not use blue. The process of tying hemba is done on a tool called Wanggi Paingu.

2. Langkah selanjutnya adalah Mengikat hemba untuk motif yang nantinya berwarna putih ada yang menyebut proses ini dengan sebutan hondung, ada pula yang menyebutnya paingu. Tujuannya agar saat dicelup warna biru, maka motif yang ditutup tali tidak terkena pewarna biru. Untuk mengikat hemba bisa menggunakan kalita ( tali dari daun gewang ) atau tali rafia. Kalita harus diikat dengan kuat agar tidak ada rembesan warna yang lain pada motif yang berwarna putih tersebut. Pada proses pewrnaan kain sumba selalu diawali dengan memberi warna biru, kecuali untuk kain yang tidak menggunakan warna biru. Proses mengikat hemba dilakukan pada alat yang disebut wanggi paingu.

3. The next step is to tie the hemba for the motif which will be colored red, so that when it is dyed blue, the part that has been tied will not be exposed to the blue dye. This process is called topu rara. When the craftsman does Hondung and Topu Rara, he must differentiate the knots so that when the craftsman in charge of dyeing the cloth does not make a mistake in the order of untying the knots, and tie a new kalita in the next dyeing process. As for the black pattern, it is produced by first dipping it in a blue coloring potion and then dipping it again in a red coloring potion, so the black color obtained is the result of a blue color overwritten by red. To produce the best black color, the dyeing process in the blue dye mixture must produce a deep blue color. The process of tying the blue and black motifs is called hondung mau.

3. Langkah selanjutnya adalah Mengikat hemba untuk motif yang akan diberi warna merah, sehingga saat dicelup warna biru, bagian yang telah diikat tidak akan terkena pewarna biru proses ini disebut topu rara. Pada saat pengrajin melakukan Hondung dan Topu Rara maka ia harus membedakan simpul ikatannya agar saat pengrajin yang bertugas untuk mewarnai kain tidak melakukan kesalahan dalam urutan membuka ikatan, dan mengikatkan kalita yang baru dalam proses pewarnaan selanjutnya. Sedangkan untuk corak yang berwarna hitam dihasilkan dengan cara terlebih dahulu dicelupkan kedalam ramuan pewarna biru kemudian dicelupkan lagi ke dalam ramuan pewarna merah, jadi warna hitam yang diperoleh merupakan hasil dari corak warna biru yang ditimpa dengan warna merah. Untuk menghasilkan warna hitam terbaik maka proses pencelupan pada ramuan pewarna biru harus menghasilkan warna biru yang pekat. Proses mengikat motif yang berwarna biru dan hitam disebut hondung mau.

IV. Coloring / Pewarnaan

After the pattern is finished tying, the warp/hemba threads are dyed in a dye produced from a mixture of natural ingredients. Not only the warp threads are dyed in natural dyes, but also the weft threads or pamawang threads, namely the threads that are inserted transversely into the warp/hemba threads, which require dyes in the desired color. Usually used blue, black and red. The process is the same as the coloring process for warp/hemba threads. Each dye is soaked in a separate container, in ancient times using earthen pots. The steps in the coloring process are as follows:

Setelah corak selesai diikat, benang – benang lungsin/ hemba tersebut dicelup dalam zat pewarna yang dihasilkan dari ramuan bahan alami. Tidak hanya benang lungsin yang dicelup kedalam zat pewarna alami tetapi juga benang pakan atau benang pamawang yaitu benang yang akan dimasukkan/ disisipkan melintang pada benang lungsin/ hemba memerlukan bahan pewarna sesuai warna yang diinginkan. Biasanya digunakan warna biru, hitam dan merah. Prosesnya pun sama dengan proses pewarnaan pada benang lungsin/ hemba. Masing – masing bahan pewarna direndam dalam wadah tersendiri, pada jaman dahulu menggunakan wadah periuk tanah. Adapun langkah – langkah dalam proses pewarnaan adalah sebagai berikut :

1. The process of dyeing woven cloth is always preceded by giving it a blue color. To obtain a blue color, the natural dyes used are Wora or tarum or indigo plants (Indigo Tinctoria). The part taken from this plant is the leaves, the soaked leaves of Wora or tarum or indigo are mixed with Wai Awu or kitchen ashes and whiting, to obtain light blue, dark blue and black colors. Especially for black color, some do it by dipping dark blue/dark blue motifs into a red coloring potion. The work of coloring by soaking Wora or tarum or indigo leaves is called Nggilingu. The culprit is called Manggilingu. To produce a deep blue color, it is best if the coloring process is carried out from January to April when the rainfall is high because during the rainy season the wora plants grow prolifically and the quality is very good. In general, the dipping process into the wora leaf mixture is carried out 4 times. However, at the Kanatang woven center, which is an area famous for its highest quality blue woven (Kawuru) because the color is very dark, the blue dyeing process can be done up to 12 times. In the blue dyeing process, the tied sheep are soaked for approximately 1 hour, after which they are squeezed and dried in the sun all day until they are completely dry and this process is carried out for approximately 12 times. When squeezed it must be in accordance with the direction of the kalita bond so as not to damage the bond which causes the seepage of blue in the red and white color motifs. So the time needed for the grinding process itself is approximately 12 days if in hot weather but if it’s cloudy it can reach 2 weeks. And should not be exposed to dew at night because spots will appear. In ancient times the nggilingu process was only done by women and there were also taboos that could not be violated in order to produce a good blue color, starting from the process of cutting the wora plant to the dyeing process. If this is violated, the resulting blue color will not be of good quality. These taboos include that women who carry out the nggilingu process must be in a happy mood, not during their menstrual period, not to touch a dead body. And there is a special place that can only be entered by people who carry out the nggilingu process. But now the nggilingu process is no longer only done by women but also done by men.

1. Proses mewarnai tenun ikat selalu didahului dengan memberi warna biru. Untuk memperoleh warna biru, bahan pewarna alami yang digunakan adalah Tanaman Wora atau tarum atau nila ( Indigo Tinctoria ). Bagian yang diambil dari tanaman ini adalah daunnya, rendaman daun Wora atau tarum atau nila dicampur Wai Awu atau abu dapur dan kapur sirih, untuk memperoleh warna biru muda, biru tua dan hitam. Khusus untuk memberi warna hitam ada yang melakukannya dengan cara mencelupkan motif yang berwarna biru tua/ pekat ke dalam ramuan pewarna merah. Pekerjaan mewarnai dengan rendaman daun Wora atau tarum atau nila disebut Nggilingu. Pelakunya disebut Manggilingu. Untuk menghasilkan warna biru yang pekat sebaiknya proses pewarnaan dilakukan dilakukan pada bulan Januari hingga April saat curah hujan tinggi karena saat musim hujan tanaman wora tumbuh dengan subur dan kualitasnya sangat baik. Secara umum proses pencelupan kedalam ramuan daun wora dilakukan sebanyak 4 kali. Tetapi pada sentra tenun ikat Kanatang yang merupakan daerah yang terkenal dengan tenun ikat berwarna biru (Kawuru) yang paling berkualitas karena warnanya sangat pekat/ tua, proses pencelupan warna biru bisa dilakukan hingga 12 kali. Dalam proses pencelupan warna biru, hemba yang sudah diikat direndam selama kurang lebih 1 jam, setelah itu diperas dan dijemur seharian sampai benar – benar kering dan proses ini dilakukan selama kurang lebih 12 kali. Ketika diperas harus sesuai dengan arah ikatan kalita agar tidak merusak ikatan yang menyebabkan merembesnya warna biru pada motif warna merah dan putih. Jadi waktu yang dibutuhkan untuk proses nggiling sendiri kurang lebih 12 hari jika dalam cuaca panas tetapi jika mendung bisa mencapai 2 minggu. Dan tidak boleh terkena embun dimalam hari karena akan timbul bintik – bintik. Pada jaman dahulu proses nggilingu hanya dilakukan oleh perempuan saja dan juga ada pantangan – pantangan yang tidak boleh dilanggar agar menghasilkan warna biru yang baik, dimulai dari proses memotong tanaman wora sampai pada proses pencelupan. Jika dilanggar maka warna biru yang dihasilkan tidak akan berkualitas, pantangan itu antara lain perempuan yang melakukan proses nggilingu harus dalam suasana hati yang gembira, tidak dalam masa menstruasi, tidak menyentuh mayat. Dan ada tempat khusus yang hanya boleh dimasuki oleh orang yang melakukan proses nggilingu. Tetapi saat ini proses nggilingu tidak lagi hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja tetapi juga sudah dilakukan oleh kaum pria.

2. Katahu Mahu; namely the process after dyeing blue. In this process the ties for the planned dark colored motifs are opened. Usually after dipping into the indigo/wora leaf concoction for 1 dyeing to get a light blue color, the knot for the dark blue pattern is opened, while for the light blue pattern it is tied.

2. Katahu mahu; yaitu proses setelah pencelupan warna biru. Pada proses ini ikatan untuk motif yang direncanakan berwarna tua dibuka. Biasanya setelah mencelup kedalam ramuan daun nila/ wora sebanyak 1 kali pencelupan untuk memperoleh warna biru muda, maka ikatan untuk motif yang direncanakan berwarna biru tua dibuka, sedangkan untuk motif yang berwarna biru muda diikat.

3. Puha Mahu; Hemba is again dipped in blue dye generally 4 times, so that it gets a much darker/dark blue color.

3. Puha mahu; hemba kembali dicelupkan kedalam pewarna biru pada umumnya 4 kali, sehingga mendapatkan warna biru yang jauh lebih tua/ pekat.

4. Katahu parara; namely the stage after the blue dyeing process is complete and the hemba is dried in the sun for several days until it is completely dry, all the ties on the motifs that will later be red are opened, while the white motifs/patterns are not opened.

4. Katahu parara; yaitu tahapan setelah selesai proses pencelupan warna biru dan hemba dijemur selama beberapa hari sampai benar – benar kering, semua ikatan pada motif yang nantinya berwarna merah dibuka, sedangkan motif/ corak yang berwarna putih tidak dibuka.

5. Hondung Mau; There are 2 types of Hondung Mau, Hondung Mau Kangurak and Hondung Mau Matua. This is the process of tying back the threads which will later become the desired motif to be light blue (want kangurak) and dark blue (want matua) so that when dyed red the color will remain blue. Except for the black pattern/pattern, it is not tied back. The motif that will be given a black color which has previously been given a blue color does not need to be tied because when it is dipped into the Kombu potion the motif will become black. And to get black with good quality, the blue color you get must also be a dark blue color.

5. Hondung Mau; terdapat 2 jenis hondung mau yaitu Hondung Mau Kangurak dan Hondung Mau Matua. Ini adalah proses pengikatan kembali benang – benang yang kelak menjadi motif yang dikehendaki menjadi berwarna biru muda ( mau kangurak ) dan biru tua ( mau matua ) agar ketika dicelup pewarna merah nanti warnanya tetap biru. Kecuali untuk corak/ motif yang berwarna hitam tidak diikat kembali. Motif yang akan diberi warna hitam dimana telah terlebih dahulu diberi warna biru tidak perlu diikat karena saat dicelup ke ramuan kombu motif tersebut akan menjadi warna hitam. Dan untuk mendapat warna hitam dengan kualitas baik maka warna biru yang diperoleh pun harus warna biru yang pekat/ tua.

6. Pre-oiling; Hemba is washed until completely clean to remove the remaining blue color, then dried in the sun until completely dry.

6. Pra peminyakan; Hemba dicuci hingga benar – benar bersih untuk menghilangkan sisa warna biru, lalu dijemur hingga benar – benar kering.

7. Kawilu; Known as petroleum. Before being dipped into the kombu mixture, the hemba is first dipped into a mixture of candlenut and dedap leaves/bark which are finely ground to produce oil. The immersion time is approximately 1 to 2 nights and then it is dried in the sun to dry for several days. The drying time is approximately 1 to 2 weeks depending on the weather. The purpose of the hemba is dipped in the mixture of candlenut and leaves/dedap skin is to bind or make it easier for the red color to stick to the thread and produce the best red color resembling brick red.

7. Kawilu; Dikenal dengan nama perminyakan. Sebelum dicelup ke dalam ramuan kombu, terlebih dahulu hemba dicelup kedalam ramuan kemiri dan daun/kulit dedap yang ditumbuk halus hingga menghasilkan minyak. Lama pencelupan kurang lebih selama 1 hingga 2 malam dan selanjutnya dijemur sampai kering selama beberapa hari. Lama penjemuran kurang lebih selama 1 hingga 2 minggu tergantung cuaca. Tujuan hemba dicelup kedalam ramuan kemiri dan daun/ kulit dedap adalah untuk mengikat atau memudahkan lekatnya warna merah pada benang dan menghasilkan warna merah yang terbaik menyerupai merah bata.

8. Drying; After being dyed and exposed to the hazelnut mixture evenly, the hemba is then dried and air-dried for about 1 to 2 weeks depending on the weather. When it is sufficiently limp and not stiff, it means that the sheep are ready to be dipped in red dye.

8. Penjemuran; Setelah dicelup dan terkena ramuan kemiri secara merata, hemba kemudian dijemur dan diangin – angin kurang lebih selama 1 hingga 2 minggu tergantung cuaca. Setelah cukup lemas dan tidak kaku berarti hemba siap dicelup kedalam pewarna merah.

9. Kombus; To obtain a red color, Kombu root or noni (Morinda Citrifolia) is used. Its small roots produce a better red color. The noni or kombu used is noni with small leaves and small fruit, because there are two types, namely those with large leaves and fruit and the other type is the one with small leaves and fruit. Kombu or noni root is mixed with the skin and leaves of Loba (Soka) which are pounded to get a red color. the self-destruction process uses a mortar where the kombu root after being cut/chopped into small pieces is then put into the mortar and pounded using a pestle, then the skin and loba leaves are added and the water is squeezed out. The coloring process for the red color is done by dipping the hemba into the kombu potion, this process can be done repeatedly to get the desired color, but in general it is done 2-3 times of immersion/soaking where 1 time of immersion/soaking takes 1-2 night, then dried in the sun until completely dry. In contrast to the milling process, the kombu process itself should be done from August to October during the dry season, because at that time the quality of the red produced will be better than during the rainy season. The work of coloring by soaking Kombu or Noni root is called Kombu, the culprit is called Makombu.
In Kaliuda village, Pahunga Lodu sub-district, after drying the yarn is still being done by Pambirdu, which means it is condensed until the morning and the next day it is dried in the sun until it dries again. Condensation is carried out up to two times, after drying it is soaked (Pabudu) for about two weeks. This process of condensation and curing is what distinguishes Kaliuda cloth products from producing a very striking red color when compared to cloth products in other regions.

9. Kombu; Untuk memperoleh warna merah digunakan akar Kombu atau mengkudu ( Morinda Citrifolia ). Akarnya yang berukuran kecil menghasilkan warna merah yang lebih baik. Mengkudu atao kombu yang digunakan adalah mengkudu berdaun kecil dan buah kecil, karena terdapat dua jenis yaitu yang berdaun dan buah besar dan jenis yang satu lagi adalah yang berdaun dan buah kecil. Akar Kombu atau mengkudu dicampur kulit dan daun Loba ( Soka ) yang ditumbuk untuk memperoleh warna merah. proses penghancuran sendiri menggunakan lesung yang mana akar kombu setelah dipotong/ dicincang kecil – kecil lalu dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk menggunakan alu, kemudian dicambur kulit dan daun loba lalu airnya diperas. Proses mewarnai untuk warna merah dilakukan dengan cara mencelupkan hemba kedalam ramuan kombu, proses ini dapat dilakukan berulang – ulang untuk mendapatkan warna yang diinginkan, tetapi secara umum dilakukan 2 – 3 kali pencelupan/ perendaman yang mana 1 kali pencelupan/ perendaman memakan waktu 1 – 2 malam, lalu dijemur hingga benar – benar kering. Berbeda dengan proses nggiling proses kombu sendiri sebaiknya dilakukan pada bulan Agustus s/d Oktober pada saat musim kemarau, karena pada saat itu kualitas merah yang dihasilkan akan lebih baik dibanding pada saat musim hujan. Pekerjaan mewarnai dengan rendaman akar Kombu atau Mengkudu disebut Kombu, pelakunya disebut Makombu.
Di desa Kaliuda Kecamatan Pahunga Lodu, benang setelah kering masih dilakukan Pamburungu artinya pengembunan sampai pagi hari dan keesokan harinya dijemur sampai kering lagi. Dilakukan pengembunan sampai dua kali, setelah kering diperam ( Pabudu ) selama kurang lebih dua minggu. Proses pengembunan dan pemeraman inilah yang membedakan produk Kain Kaliuda menghasilkan warna merah yang sangat menyolok bila dibandingkan dengan produk kain di wilayah lain.

10. Untied motifs; After the hemba is dried in the sun until it is completely dry, all the motif ties will be opened (katahu) and arranged on a tool called a wanggi yalah to then enter the tinung/weaving process.

10. Membuka ikatan motif; Setelah hemba dijemur hingga benar – benar kering maka semua ikatan motif akan dibuka ( katahu ) dan diatur pada alat yang disebut wanggi yalah untuk selanjutnya masuk dalam proses tinung/ menenun.

V. Weave / Menenun

When the process of coloring the warp threads (hemba) has been completed, the next work is weaving (tinung). Weaving work is done by women who are good at weaving. Generally, weaving work is handed over to other women in exchange for services or pajaungu. Before weaving, all weaving equipment is installed in its respective place.

Bila proses pewarnaan benang lungsin ( hemba ) telah selesai, pekerjaan selanjutnya adalah menenun ( tinung ). Pekerjaan menenun dikerjakan oleh wanita yang pandai menenun. Umumnya pekerjaan menenun diserahkan pada wanita lain dengan imbalan jasa atau pajaungu. Sebelum menenun, semua peralatan menenun dipasang pada tempatnya masing – masing.

The traditional equipment needed in weaving Sumba cloth is as follows:
Wunangu

Peralatan tradisonal yang dibutuhkan dalam menenun kain Sumba adalah sebagai berikut :
Wunangu

1. Wunangu or snapper or comb, which is a round piece of wood the size of your thumb where the woven threads are tied with bigger and stronger threads. It is this tool that is moved up or down to insert the hawuluru (place for weft) and kalira (belira) to press the weft so that the woven results are tight.

1. Wunangu atau kakap atau sisir yakni sebatang kayu bulat sebesar ibu jari tempat benang – benang tenun ikat dengan benang yang lebih besar dan kuat. Alat inilah yang digerakkan naik atau turun untuk memasukkan hawuluru ( tempat benang pakan ) dan kalira ( belira ) untuk menekan pakan agar hasil tenunan rapat.

2. Nguada
Nguada or pesa, a tool made of a round piece of wood, is located close to the comb. When the comb is lifted, the ngoda is pressed to facilitate the entry of the hawuluru and kalira into the woven threads.

2. Nguada
Nguada atau pesa, alat yang terbuat dari sebatang kayu bulat, letaknya dekat dengan sisir. Pada saat sisir diangkat, ngoda ditekan untuk memperlancar masuknya hawuluru dan kalira pada benang tenunan.

3. Rada (press)
Is a piece of bamboo with a length of 1 meter, width of 2 cm serves to overlap the woven threads that have been lifted with a comb so that the woven threads remain flat.

3. Rada (penindih)
Adalah sebilah bambu dengan panjang 1 meter, lebar 2 cm berfungsi untuk menindih benang tenunan yang telah diangkat dengan sisir agar benang – benang tenunan tetap rata.

4. Kalira (belira)
The tool is made of hardwood core (acid wood or cypress) made in such a way that wax is rubbed to keep the surface smooth. The shape resembles a machete, 140 cm long, 7-9 cm wide. How to use it stomped from face to back so that the weft threads tightened.

4. Kalira (belira)
Alat yang terbuat dari teras kayu keras (kayu asam atau cemara) dibuat sedemikian rupa agar tetap licin permukaannya digosokkan lilin. Bentuknya menyerupai parang, panjang 140 cm, lebar 7 – 9 cm. Cara penggunaannya dihentakkan dari muka ke belakang agar benang pakan merapat.

5. Hawuluru (circle)
Is a tool made of a round piece of wood with a diameter of the middle finger, 60 cm long. Serves as a place to roll/circle the weft threads to make weaving easier.

5. Hawuluru (pelingkar)
Adalah alat yang terbuat dari sepotong kayu bulat berdiameter sebesar jari tengah, panjang 60 cm. Berfungsi sebagai tempat menggulung/ melingkarkan benang pakan supaya memudahkan waktu menenun.

6. Lawadi (binding)
Is a piece of bamboo whose length corresponds to the width of the cloth and functions as a place to tie the warp threads, as a place to start the weaving process.

6. Lawadi (pengikat)
Adalah sebilah bambu yang panjangnya sesuai lebar kain dan berfungsi sebagai tempat mengikat benang lungsin, sebagai tempat mengawali proses kegiatan menenun.

7. Tuka (fasteners)
A piece of bamboo with both ends sharpened and slung on the left and right edges of the cloth with the aim of tightening the weave.

7. Tuka (pengencang)
Sebilah bambu yang kedua ujungnya diruncingkan dan disangkutkan pada pinggir kiri dan kanan kain dengan tujuan untuk mengencangkan tenunan.

8. Tandai Ndingi, is a pole of planted wood, a place to hang perfume with warp threads

8. Tandai ndingi
Tandai Ndingi, adalah tiang dari kayu yang ditanam, tempat menggantung wanggi yang ada benang lungsinnya

9. Ndingi
Ndingi adalah bambu tempat tambatan benang – benang lungsin. Kedua ujung bambu itu dibelah – belah sehingga menimbulkan bunyi berirama waktu menenun;

10. Kawihu ndingi
Kawihu ndingi adalah pengikat ndingi dan tandai ndingi, berupa tali yang kuat;

11. Kanoru
Kanoru, adalah alat yang terbuat dari pelepah enau atau bambu atau kayu bulat yang dimasukkan pada bagian atas benang lungsin untuk memperlebar pemisahan sehingga lungsin atas dan lungsin bawah tidak berdempetan satu sama lain;

12. Polu
Polu adalah bambu tempat menyangkutkan lungsin bawah yang diletakkan diatas pangkuan penenun dan juga berguna untuk memisahkan kedua bagian lungsin tersebut;

13. Liu
Liu, adalah alat yang terbuat dari kayu. Bagian tengahnya dilebarkan sebagai tempat sandaran pinggang penenun;

14. Kawihu liu
Kawihu liu, adalah tali penahan belakang, disangkutkan pada polu dan liu yang berguna untuk mengencangkan benang – benang lungsin;

15. Handayangu
Handayangu, adalah kayu bulat sebesar ibu jari kaki yang diletakkan diatas tandai ndingi kiri kanan;

16. Kaduduhu
Kaduduhu, adalah alat tempat menyorong kalira turun naik pada waktu menenun;

17. Tarini
Tarini, adalah kayu bulat yang ditahan dengan tiang, tempat penenun menekankan kaki ketika menenun kain, juga berguna untuk mengencangkan atau mengendurkan kain.

Setelah seluruh alat menenun dipasang pada tempatnya masing – masing, maka selanjutnya adalah proses menenun yang biasanya hanya dikerjakan oleh perempuan saja.
Adapun langkah – langkah dalam proses menenun adalah sebagai berikut :

1. Biara
Memisahkan tiap liran yang sebelumnya ( saat pewarnaan ) digabung menjadi satu.

2. Walah
Membentangkan hemba pada wanggi (struktur bambu) yang sebelumnya telah dipisahkan lewat proses Biara dan merapikan posisi motif seperti ketika awal menggambar desain.

3. Tidihu
Merapikan motif, hemba yang telah dibentangkan di wanggi dirapikan posisi tiap karandi agar membentuk motif yang sudah didesain sebelumnya.

4. Mengkarandi kembali
Mengikat karandi pada sebilah bambu, agar benang tidak bergeser saat sebelum dan saat sedang ditenun.

5. Kanji atau Kawu
Pengolesan ramuan kanji pada hemba agar kaku saat ditenun. Setelah itu hemba dijemur hingga kering.

6. Kawari
Memisahkan tiap karandi yang menempel dengan menggunakan tangan, karena untaian benang setelah diolesi ramuan kanji saling melekat satu sama lain.

7. Hira
Memisahkan untaian benang yang masih melekat dibagian atas dan bawah

8. Hura
Memisahkan tiap helaian benang yang masih melekat dengan menyelipkan sebilah bambu tipis yang berujung runcing diantara helaian benang. Kemudian diakhiri dengan diselipkannya sebilah bambu panjang sebagai alat bantu untuk membuat Pawunang.

9. Pawunang
Membuat benang panduan yang digunakan untuk memasukkan kayu wunang saat proses menenun.

10. Hawulur Pamawang
Benang pakan untuk tenun disiapkan dengan digulung pada sebilah tongkat yang dinamakan pamawang. Benang tersebut telah terlebih dahulu melalui proses pewarnaan dengan cara direndam pada ramuan tumbuhan sesuai dengan warna yang di inginkan. Proses pewarnaannya sama persis dengan proses pewarnaan benang lungsin/ hemba.

11. Parabat
Proses dimasukkannya sebilah bambu tipis ( kambilla patu ) disela – sela benang sebagai pertanda dimulainya proses tenun.

12. Tinung/ Tenun
Proses menenun hanya dilakukan oleh perempuan. Untuk menenun 1 liran biasanya butuh waktu sekitar 2 hari ( jika dikerjakan intensif ) atau 4 – 5 hari ( jika dikerjakan sambil mengurus keluarga/ mengerjakan pekerjaan rumah tangga ). Umumnya pekerjaan menenun diserahkan pada wanita lain dengan imbalan jasa atau pajaungu, untuk kain kombu imbalan jasa menenun sekitar Rp.200.000/ liran, sedangkan untuk kain kawuru sekitar Rp. 150.000/ liran.

13. Katahu Wunang
Yakni tahap akhir dari proses menenun yang ditandai dengan dipotongnya benang/ tali wunang.

14. Menjahit
Menjahit dua liran ( lembar ) kain dengan motif yang sama untuk disatukan menjadi selembar hinggi/ kain. Hinggi merupakan kain tenun ikat yang digunakan sebagai pakaian tradisonal bagi laki – laki. Begitupun untuk menjahit lawu yang merupakan kain sarung yang digunakan sebagai pakaian tradisonal perempuan, dengan cara menjahit menyatukan tepian lau (kain sarung). Umumnya ada 3 teknik menjahit yaitu tulang ikan, uttu tepu, uttu hiru.

15. Kabakil
Ujung kain bagian atas dan bawah yang berupa untaian benang ditutup dengan teknik tenun horizontal ( diametrik terhadap arah tenun seluruh kain sebelumnya ). Benang yang dipakai untuk menenun kabakil biasanya melalui proses pewarnaan tersendiri dengan menggunakan bahan pewarna alami dengan desain dan kombinasi warna tersendiri yang disenadakan dengan warna dan motif kain yang hendak diproses kabakil.

16. Pelintir / Puti
Biasa dilakukan oleh laki – laki, untaian benang pada ujung kain dirapikan dengan cara dipelintir menggunakan tangan.

17. Wari Rumata
Langkah terakhir dalam proses pembuatan tenun ikat, Menggunakan kayu yang bernama wari, rumbai yang telah dipelintir kemudian dihaluskan.

Sedangkan proses pembuatan Sarung atau Lawu dan Sarung Songket atau Lawu Pahikung/ Lawu Pahudu melalui tahap – tahap sebagai berikut :

1. Penyiapan Benang
Benang yang digunakan hasil pintal dari kapas atau pahuduru atau menggunakan benang buatan pabrik. Dibuat gulungan benang bentuk bulat sebesar tinju atau bola kasti yang disebut kabukulu. Jumlah kabukulu disesuaikan dengan kebutuhan.

2. Pameningu (mengatur lungsin)
Benang lungsin di atur atau pameningu pada alat yang disebut wanggi (pembidangan). Panjang dan lebar sesuai yang dikehendaki.

3. Pababatungu (tenun awal)
Saat pengaturan benang lungsin dengan memasang alat – alat yang diperlukan untuk mempermudah proses songket atau hikung. Setelah alat – alat yang diperlukan terpasang pada tempatnya masing – masing, proses pababatungu selesai.

4. Hikungu (songket)
Sarung tenunan direntangkan lagi pada wanggi patangngi yang ditahan dengan tali. Lidi yang telah disiapkan dipasang untuk membentuk gambar yang dikehendaki. Sarung tenun dikembalikan pada alat tenun seperti pada proses pababatungu dengan menyiapkan alat tambahan yaitu kayu palambang pahudu kurang lebih 20 batang, wunang bakul untuk songket atau pahudu.

5. Menenun
Proses menenun sarung songket berbeda dengan menenun kain (hinggi). Pada proses menenun sarung songket, sambil menenun, lidi penentu corak diatur sesuai letak lidi penentu corak. Sambil menenun, lidi penentu corak dikeluarkan dari bawah keatas artinya satu lidi dan satu kayu palambang dikeluarkan secara beraturan. Setelah semua kayu palambang pahudu dan lidi penentu corak habis dikeluarkan berarti selesailah proses membuat corak pada bagian pertama.
Selanjutnya mulai lagi menyusun lidi penentu corak dan memasang kayu palambang pahudu dan sambil menenun lidi penentu corak dan kayu palambang dikeluarkan satu demi satu sampai selesai sehingga dengan demikian bagian yang kedua selesai. Demikian seterusnya sampai proses menenun selembar sarung songket (lawu pahudu) selesai.


One response to “PROSES PEMBUATAN TENUN IKAT DAN PAHIKUNG/SONGKET”

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started